Subscribe:

Kamis, 24 Maret 2011

Kejujuran: Harga Mati yang Harus Dipegang Para Pedagang


“… kebiasaan para pedagang adalah menipu dalam perniagaan, dan amat berambisi untuk menjual barang dagangannya dengan segala cara yang dapat mereka lakukan, diantaranya dengan sumpah palsu dan yang serupa…” (Al-Qadhi ‘Iyadh)

Pembaca mulia, apa yang dikatakan Al-Qadhi ‘Iyadh adalah fakta yang sering kita temui dalam keseharian hidup kita. Orang yang memulai bisnisnya dengan berdagang, akan sangat bernafsu memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Banyak cara yang dilakukannya untuk memuaskan ambisinya tersebut, mulai dengan menghancurkan aset kompetitor sampai meminta bantuan dukun. Namun, cara kotor sangat sering ditemui adalah berdusta.


Pembaca mulia, ketahuilah bahwa dalam Islam diajarkan bahwa kejujuran adalah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kejujuran harus senantiasa menjadi akhlak kita dalam setiap keadaan. Boleh jadi, sebagian pebisnis beranggapan bahwa sifat kejujuran hanya akan merugikan diri sendiri dan perusahaan yang dikelolanya.

Tidak! Sekali-kali janganlah kita tiru pebisnis semacam itu. Kita adalah seorang muslim yang wajib menjaga prinsip-prinsip Islam dalam seluruh aspek kehidupan kita.

Selasa, 22 Maret 2011

Dimanakah Kepedulian Kita?

Segala puji bagi Allah, Rabb yang telah menetapkan takdir segala makhluk lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi pembawa cahaya, pemberi kabar gembira dan peringatan, seorang da'i yang mengajak umatnya untuk mengabdi kepada Allah semata dengan hati dan segenap anggota badan mereka. Amma ba'du.
 
Saudaraku, .. deraan musibah masih terasa menyisakan kepedihan di hati saudara-saudara kita yang tertimpa bencana letusan Gunung Merapi di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Rumah-rumah yang hancur, ternak yang musnah, sanak saudara yang hilang dan meninggal, kebutuhan hidup sehari-hari yang tidak menentu. Itu semua menyisakan bongkahan-bongkahan keputus-asaan dan mempertipis harapan. Belum lagi, ketika musibah yang menimpa jasad ini diperparah dengan musibah yang menimpa hati dan aqidah mereka, berupa upaya untuk mencari keselamatan dan menolak bala yang menyimpang dari syari'at, munculnya ritual-ritual kemusyrikan,

Senin, 21 Maret 2011

Goresan Pesan Untuk Pembela Kebenaran

Segala puji bagi Allah, salawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah. Amma ba’du.

Istilah dakwah salafiyah sudah tidak asing lagi di telinga kita. Suka atau tidak suka semua kelompok -kecuali Syi’ah dan bala tentaranya- pada akhirnya tentu akan sepakat jika kita ajak untuk mengikuti para sahabat secara umum, walaupun dalam prakteknya mereka banyak menyelisihi generasi terbaik tersebut. Mereka -secara umum- bahkan mengklaim apa yang mereka yakini sebagai pemahaman para Sahabat, walaupun klaim mereka tidak dilandasi dengan bukti yang memadai. Yang memprihatinkan adalah, tatkala terbukti secara ilmiah bahwa apa yang mereka yakini atau amalkan ternyata bertentangan dengan pemahaman Sahabat mulailah muncul sikap permusuhan dan aksi penolakan. Terkadang penolakan itu sekedar dipendam di dalam hati, terkadang diucapkan dengan lisan, dan tidak jarang berakhir dengan peperangan, Allahul musta’an…

Saudaraku, sesungguhnya penisbatan kepada salafus shalih adalah penisbatan yang mulia dan terpuji, bukan perkara yang tercela sama sekali. Hal itu berulang kali kita dengar dari nukilan para ulama, di antaranya Syaikhul Islam Abul Abbas al-Harrani rahimahullah. Namun, yang menjadi persoalan sekarang ini adalah tatkala penisbatan ini dirancukan dengan sikap golongan atau kelompok tertentu yang mempersempit makna salafiyah. Kita memang tidak ingin memasukkan perusak dakwah ke dalam jajaran Salafi. Demikian pula sebaliknya. Kita juga tidak ingin menjatuhkan orang-orang yang masih bisa diperhitungkan perannya dalam dakwah yang agung ini dari kedudukan yang semestinya.

Oleh sebab itu wahai saudaraku, sudah semestinya kita bisa bersikap bijak dan adil dalam menilai dan bersikap, baik kepada diri kita sendiri ataupun kepada orang lain; yang mungkin kita anggap berseberangan dengan kita dalam banyak hal. Perhatikanlah bagaimana para Sahabat -teladan kita semua- dalam menilai diri mereka sendiri dan dalam memposisikan orang lain sebagaimana mestinya. Kita masih ingat, penuturan Ibnu Abi Mulaikah yang sangat masyhur dan dikutip oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ternyata mereka semuanya khawatir dirinya terjangkit kemunafikan.” Ini adalah salah satu bukti kerendahan hati para Sahabat bersama dengan segala kebesaran yang mereka miliki.

Keagungan Ma'rifatullah

Abu Mushlih Ari Wahyudi

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan padanya, maka dia akan dipahamkan/difaqihkan dalam (urusan) agama.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya fiqih tentang nama-nama Allah yang terindah (al-Asma' al-Husna) adalah sebuah bidang ilmu yang sangat utama, bahkan ia merupakan fiqih yang terbesar. Ilmu ini menduduki posisi pertama-tama dan terdepan dalam kandungan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan padanya, maka dia akan dipahamkan/difaqihkan dalam (urusan) agama.” (Muttafaq 'alaih). Ia merupakan sebaik-baik perkara yang semestinya digapai selama hidup, sebaik-baik ilmu yang digali dan diraih oleh orang-orang yang memiliki kecerdasan dan akal yang terbimbing. Bahkan ia merupakan puncak tertinggi yang menjadi target untuk berlomba-lomba dan ujung cita-cita yang menjadi tujuan bagi orang-orang yang saling bersaing dalam kebaikan. Ia merupakan pilar perjalanan hidup menuju Allah dan pintu gerbang yang tepat untuk menggapai cinta dan ridha-Nya. Ia merupakan jalan yang lurus yang ditempuh oleh orang-orang yang dicintai Allah dan dipilih-Nya.” (Fiqh al-Asma' al-Husna, hal. 11)

Fiqih tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan pondasi agama seorang hamba. Sebab ia merupakan bagian utama dalam keimanan kepada Allah. Inilah pondasi yang tidak boleh dilupakan dan pilar agama yang tidak layak diabaikan. Pondasi amalan ada dua -sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah- yaitu:
1. Mengenal Allah dengan benar, memahami perintah-perintah-Nya, nama-nama dan sifat-sifat-Nya
2. Memurnikan ketundukan kepada Allah dan rasul-Nya, bukan kepada selainnya. Kedua hal inilah pondasi paling kuat yang akan melandasi bangunan agama seorang hamba. Kekuatan dan ketinggian agama seseorang akan tergantung pada kekuatan dua hal ini (lihat Fiqh al-Asma' al-Husna, hal. 12)

Menempa Hati Untuk Ikhlas...

Abu Mushlih Ari Wahyudi
Ikhlas, merupakan bukti pengenalan hamba kepada Allah. Ikhlas juga menjadi bukti kesetiaan seorang hamba terhadap ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Ibnul Qayyim rahimahulllah berkata, “... Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (al-Fawa'id, hal. 34)